Akronim PADes dan BUMDes

Avatar of Ditulis oleh Bonefasius Rampung
WhatsApp Image 2023 05 13 at 01.23.51 e1683912904469

Penggunaan bentuk ringkas, singkatan, akronim dalam praktik berbahasa tulis seperti yang dipublikasikan pada berbagai karya jurnalistik (media cetak) tampaknya tidak terkendali.

Masyarakat pengguna bahasa termasuk media semakin menyederhanakan bahasa dan cenderung menggambarkan “kelatahan dan kemalasan” berbahasa.

Pembentukan dan penggunaan bentuk ringkas dan akronim baru sedemikian menggila dan menggelikan.

Banyak orang kebingungan ketika berhadapan dengan bentuk ringkas yang bertebaran pada berbagai media, baik media cetak maupun media daring (online).

Dalam rangka menjelaskan persoalan persoalan ketepatan penulisan bentuk ringkas ini, melalui kolom “Fatamorgana Bahasa Indonesia” ini kami kutipkan dua judul berita yang pernah dimuat melalui media cetak.

Pada judul berita tersebut tertulis bentuk ringkas PADes dan BUMDes.
“Desa Tapobali Miliki PADes Terbesar” (FP, Sabtu, 23/5/2015, p. 6).
“Kepala Desa Berperan Sukseskan BUMDes” (FP, Senin, 8/6/2015, p.7).

Ulasan ini tidak bermaksud mempersoalkan substansi berita. Persoalan pokok yang diuraikan dipertalikan dengan masalah bahasa terutama persoalan penulisan bentuk ringkas.

Pemakaian bentuk ringkas dalam praktik berbahasa (kajian morfologi) umumnya disebut saja sebagai singkatan. Sesungguhnya, bentuk ringkas dibedakan menjadi singkatan dan akronim.

Tidak semua singkatan disebut akronim tetapi semua akronim pastilah singkatan. KTP, misalnya, tergolong bentuk ringkas atau singkatan tetapi bukan akronim karena dibaca [ka te pe]. ABRI dan Polri tergolong akronim sekaligus singkatan karena keduanya menampilkan bentuk yang ringkas atau singkat dibaca sebagai kata.

Berita yang dirujuk dalam ulasan ini memuat delapan bentuk ringkas yakni: (1) PADes (pendapatan asli desa), (2) BPMD (badan pemberdayaan masyarakat desa), (3) BPD (badan permusyawaratan desa), (4) ADD (alokasi dana desa), (5) PAD (pendapatan asli daerah), (6) Sekdes (sekretaris desa), (7) UUDes (undang-undang desa), (8) BUMDes (badan usaha milik desa).

Dari tujuh bentuk ringkas ini, yang tergolong akronim sekaligus singkatan hanyalah PADes (1) dan SekDes (6). Sisanya hanyalah singkatan.

Dalam berbagai bentuk ringkas itu, kata ”desa” menjadi kata kunci yang digunakan secara tidak konsisten dalam penyingkatannya.

Kata “desa” diringkas menjadi huruf D saja seperti pada bentuk ringkas (2), (3), dan (4). Bentuk ringkas lain untuk kata desa adalah Des seperti pada (1), (6), dan (7).

Bentuk ringkas kedua yang diturunkan dari kata desa itu adalah bentuk Des seperti pada bentuk (1) dan (6) dan (7).

Penggunaan dua bentuk yang berbeda ini justru membingungkan pembaca perihal patokan, kriteria, dan aturan penulisan bentuk ringkas (singkatan dan akronim) yang benar.

Penulisan PADes ini sama dengan penulisan EBTANas dan EBTANAS yang pernah kami bahas di dalam Fatamorgana Bahasa Indonesia 1, (2005: 102). Baik bentuk EBTANas maupun bentuk EBTANAS, keduanya merupakan bentuk yang salah.

Alasannya, bentuk ringkas EBTANas diringkas dari bentuk lengkap Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Unsur yang diambil untuk bentuk ini adalah aksara pertama untuk empat kata pertama dan tiga aksara pertama dari kata Nasional.

Bentuk EBTANAS juga menggunakan pola yang sama tetapi tiga aksara pertama dari kata Nasional semuanya ditulis dengan menggunakan bentuk kapital.

Penulisan seperti ini menyalahi prinsip praktis dan estetika sehingga seharusnya ditulis menjadi Ebtanas. Tidak ditulis EBTANAS karena kata terakhir bukan diambil aksara pertama tetapi tiga aksara.

Sebaliknya penulisan EBTA benar dan Ebta salah karena bentuk itu dibentuk dengan menggunakan aksara pertama setiap kata utama dan dibaca sebagi kata (akronim).

Contoh bentuk lain ABRI benar tetapi AKABRI (Akademi Angkatan Bersenajata Republik Indonesia) salah. Polri benar tetapi POLRI (Polisi Republik Indonesia) salah.

Dengan beranalogi pada contoh-contoh ini, bentuk PADes (pendapatan asli desa) dan bentuk BUMDes (badan usaha milik desa) tergolong bentuk yang salah. Demikian pula bentuk UUDes (undang-undang desa) tidak bisa ditulis UUDes melainkan menjadi Uudes.

Setelah mengikuti penjelasan di atas, maka dipastikan bahwa bentuk yang ada pada judul tulisan ini merupakan dua bentuk penulisan yang salah. Bentuk yang benar adalah Pades dan Bumdes.

Editor: Redaksi KrebaDi’a


sosok romo bone e1683867442101

Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng.

Baca Juga: Kiprah PBSI Unika St. Paulus Ruteng: Romo Bone Rampung, Kaprodi yang Sibuk Tapi Tetap Rajin Menulis