Wisata Jurnalistik di Thailand (3): Pantai Pattaya, Seks, dan Ganja

Avatar of Etgal Putra
WhatsApp Image 2023 06 07 at 22.45.04 e1686151136917

KAFE GANJA — Legalnya ganja jadi salah satu daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Thailand. Di Walking Street Pattaya, kafe ganja jadi bisnis baru yang ramai dikunjungi wisatawan asing.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

KrebaDi’a.com — Ada dua hal yang spontan muncul kalau menyebut Thailand. Muai Thai dan Lady boy.

Namun belakangan ini ada satu tema lagi. Tema baru yang jadi topik hangat. Ganja.

Pasalnya, Thailand secara resmi melegalkan penggunaan ganja. Baik untuk terapi medis maupun untuk tujuan rekreasional.

Di Thailand sendiri, wacana soal ganja memang sudah berlangsung lama.

Ini dipengaruhi oleh gerakan yang dibuat oleh masyarakat yang mendesak pemerintah untuk mengambil sikap mengenai ganja.

Ganja memang bukan hal baru dalam resep pengobatan di Thailand.

Para leluhur mereka telah menggunakan ganja dalam berbagai jenis sediaan obat tradisional.

Saat merokok bersama Arun di parkiran hotel, saya sempat bertanya. Jawaban Arun singkat saja.

“Kalau soal ganja, jangan ditanya Pak,” kata dia.

“Kenapa memangnya Pak Arun?” tanya saya.

“Besok saja pas kita ke Pattaya. Di sana nanti langsung ke Walking Street. Itu red zone, 18 plus. Nanti bisa wawancara penjualnya saja” jelas Arun.

“Banyak yang jual disana?” saya lanjut bertanya.

“Banyak kok di sana. Banyakan yang jual ganja dibanding rokok,” tutup Arun.

Walking Street Pattaya

Perjalanan dari Bangkok menuju Pattaya berlangsung kurang lebih dua jam.

Pattaya adalah kota yang terletak di sisi timur kota Bangkok.

Kota pesisir yang jualan utamanya adalah pariwisata.

Kalau menggunakan bus dan lewat jalan tol, waktu tempuhnya kurang lebih dua jam.

Kami tiba di Pattaya kurang lebih pukul 7 malam waktu Bangkok.

IMG 7214

JALANAN BANGKOK — Jalanan Bangkok selalu padat, namun tetap tertib dan teratur.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Setelah check in dan mandi, saya mengajak istri, Indah Jemidin, untuk turun ke lobi dan menemui Arun.

Di sofa lobi, Arun sedang duduk bersandar. Dia terlihat kelelahan. Menjelaskan banyak hal sepanjang perjalanan tentu menguras tenaga.

Saya memberi tahu Arun bahwa saya akan mengunjungi Walking Street.

“Ke sana sama istri?” Arun bertanya.

“Iya Pak, istri saya juga penasaran mau lihat red zone,” jawab saya.

“Ini baru suami yang benar. Bu Indah, jaga suaminya baik-baik ya,” kata Arun sambil tersenyum.

“Oh iya Pak, di sana ada yang jual ganja kan?” saya bertanya.

“Iya banyak di sana. Nanti tiap 20 meter ada saja yang jualan ganja,” jawab Arun.

“Ada aturan lain yang saya perlu tahu Pak?” saya bertanya untuk memastikan.

“Hmm kurang lebih sama seperti merokok. Jangan disulut di bawah atap,” jelas Arun.

Hotel kedua tempat kami menginap namanya One Wing Pattaya. Letaknya kurang lebih 400-an meter dari bibir pantai Pattaya.

Kami berdua berjalan kurang lebih 10 menitan hingga akhirnya tiba di bibir pantai.

Saya mengecek aplikasi peta, menentukan lokasi asal lalu mengetik lokasi tujuan.

Ternyata Walking Street jaraknya 3 kilometer dari titik kami berdiri.

Kalau ke sana jalan kaki, pasti melelahkan dan makan waktu.

Jadi, kami berdua sepakat untuk naik angkutan umum.

Tarifnya 20 bath, atau setara 9 ribu rupiah per orangnya.

Angkutan ini berjalan perlahan. Jam 7 malam ke atas memang jam macet di Pattaya.

Mayoritas wisatawan biasanya menunggu matahari terbenam sebelum mulai menyusuri Pattaya.

Kalau siang, pantainya biasa-biasa saja. Malah bagusan pantai di Indonesia.

Wisata malam memang menu utamanya Pattaya.

IMG 8125

WISATA MALAM — Selain pantai, wisata malam jadi daya tarik utama Pattaya.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Setelah 20 menitan menumpang angkutan umum, kami pun tiba di gerbang Walking Street.

Dari gerbang, kami sudah mendengar dentuman musik.

Ratusan orang keluar masuk melewati gerbang utama Walking Street.

Rok mini dan bra jadi busana rata-rata wanita di sana.

Melihat pemandangan ini, saya mulai gentar.

Rasa penasaran akan Walking Street mulai goyah.

Pemandangan di pintu gerbang saja sudah seperti ini, apa gerangan yang ada di dalam.

Ini pengalaman pertama saya, juga istri, berkunjung ke area red zone.

“Bagaimana Mami, gas kita kah?” tanya saya pada istri.

“Terserah Papi saja,” jawab istri saya.

Dia terdengar sedikit bimbang.

Dari suaranya, saya tahu dia mulai ragu dengan keputusannya sendiri.

Setengah jam yang lalu saat di hotel, saya sudah menjelaskan pada istri saya bahwa Walking Street adalah area wisata zona merah.

Zona merah itu zona 18 plus. Bukan hanya satu plus, tapi puluhan bahkan ratusan plus.

Jajanan yang dijual di sini bukan lagi Mango Sticky Rice.

Yang dijual disini kebanyakan “Sticky” tanpa Mango dan Rice.

Setelah saya jelaskan, istri saya tetap kekeuh ingin ikut.

“Pap, ini nona-nona mereka jalan di sini hanya pakai BH saja e,” bisik istri saya.

“Jangan pake bisik-bisik. Nanti ketahuan kita orang baru di sini,” kata saya.

“Ole, pantas tadi Pak Arun bilang jaga suami e. Syukur saya ikut, kalau tidak bahaya kita punya rumah tangga,” kata istri saya sambil diam-diam mencubit lengan saya.

Saya diam tidak merespon. Istri saya boleh curiga, tapi dia tidak tahu kalau sebenarnya saya juga gugup untuk terus maju.

Sekitar 5 menitan kami berdiri memperhatikan arus manusia yang berjalan keluar masuk area Walking Street.

“Bagaimana, kita balik hotel saja kah?” tanya saya.

Saya menunggu reaksi istri, apakah dia memutuskan untuk pulang ke hotel atau tidak.

Dia hening sejenak.

“Nanggung e Papi. Mending kita masuk saja. Tapi pegangan tangan. Saya takut tersesat,” jawabnya.

Kami berdua pun mulai berjalan masuk.

IMG 7592

PENGALAMAN PERTAMA — Berkeliling zona merah di Walking Street jadi pengalaman pertama saya dan istri.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Zona Merah

Kawasan ini membentang kurang lebih hampir satu kilometer. Gemerlap lampu neon warna-warni menciptakan ilusi seolah kawasan ini tanpa ada ujung.

Seratus meter pertama adalah yang terberat. Setelahnya mata kami berdua mulai terbiasa.

Dilihat dari wajah, pengunjung Walking Street datang dari berbagai jenis ras dan bangsa.

Paling banyak yang wajahnya ke arab-araban.

Itu dari tampilan, sekarang dari pilihan.

Ibarat Shoope, Walking Street menawarkan berbagai item kesenangan tanpa batas, selama punya uang tentunya.

Mau sekadar lihat, bisa.

Mau lebih dari sekadar lihat-lihat, juga bisa.

Ada banyak opsi hiburan dewasa yang ditawarkan di sana.

Bahkan hal yang mungkin tidak pernah kita pikirkan dalam fantasi, di sini juga ada.

WhatsApp Image 2023 06 07 at 22.45.04 1

ZONA MERAH — Diskotik, bar, Sex show, dan pijat plus-plus adalah menu utama yang ditawarkan di Walking Street.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Teknik marketingnya juga ekstrem.

Saat kita melintas, sebaiknya jangan melihat dagangan mereka lebih dari lima detik atau menunjukkan ekspresi wajah tertarik.

Cukup lihat sekilas atau gunakan teknik melirik dengan ekor mata.

Jika tidak, maka para sales akan langsung menghampiri kita, membawa brosur dan menawarkan dagangan mereka.

Hello sir, you wanna f**k? With girl? Boy? Lady boy?” tanyanya dalam bahasa Inggris dengan logat Thai dan tanpa basa-basi.

Oh nah, i’m here with my wife,” tolak saya.

With wife? You wanna threesome?” Ia bertanya lagi.

No no. We just wanna walking around and see,” saya tetap menolak.

Oh wanna see. We have everything you wanna see. We have sex show, 200 bath only. You buy ticket, you get free beer,” dia menawar lagi.

Sex show itu mirip seperti film porno. Bedanya penonton tidak menonton adegan di layar.

Dua atau lebih pasangan melakukan hubungan intim dan dilakukan di depan mata penonton yang duduk mengelilingi ranjang.

Ada juga beberapa tempat yang “barang dagangan”-nya dipajang dalam etalase kaca, pakai price tag. Bahkan ada yang pakai tulisan “on sale” atau lagi diskon.

Untuk yang diskonan, murahnya tidak masuk akal. Jasa servisnya hanya 85 bath atau sekitar 40 ribu rupiah sekali main.

IMG 8126

MENUNGGU PELANGGAN — Beberapa penghibur tampak sedang menunggu pelanggan. Mereka adalah tulang punggung Walking Street Pattaya.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

Don’t Panic, Its Organic!

Setelah berjalan kurang lebih 300-an meter, akhirnya tempat yang saya cari tampak di depan mata.

Lapaknya kecil dan sederhana. Berukuran 1 x 1 meter. Hanya ada satu meja kecil tempat menggelar berbagai produk ganja.

Nama lapak itu, Papa John’s. Mirip nama restoran Pizza.

Di belakang meja Papa John’s, terpasang sebuah banner dengan foto seorang petani yang sedang tersenyum sambil menggenggam serumpun tanaman ganja segar.

Tampak tulisan besar di bawahnya, “Don’t Panic, Its Organic!

Ada sebuah keterangan dalam bahasa Inggris yang menjelaskan bahwa semua produk yang dijual adalah ganja yang dibudidayakan di Thailand.

Di atas meja, ada 8 toples kaca dengan berbagai label harga dan varietas ganja.

Selain ganja, dijual juga produk olahan ganja lainnya.

Ada getah ganja atau hash, liquid vape atau rokok elektrik dengan kandungan THC (zat aktif dalam ganja), serta bong bambu untuk menghisap ganja.

Untuk harga, variatif tergantung seberapa poten atau kuat efek mabuk dari ganja yang mau kita beli.

Yang paling mahal, varian kush dengan label poten 35% THC. Harganya 400 bath atau setara dengan 180 ribu rupiah.

IMG 7603

LAPAK GANJA PAPA JOHN’S — Selain diskotik, bar dan panti pijat, lapak ganja juga mudah ditemukan di Walking Street Pattaya.

Seorang penjual mengaku bernama John. Saat saya hendak mengambil foto, ia mencegah saya dan minta jangan mengambil gambar dari depan.

No front photo, take it from side only,” katanya sambil menunjuk sisi kanan meja.

Saya tidak tahu alasannya, namun saya memilih untuk mengikuti saja apa yang dia minta.

Where are you come from sir?” dia bertanya.

Indonesia” jawab saya singkat.

No legal weed in indonesia?” dia lanjut bertanya.

No,” jawab saya.

Selanjutnya saya mengajak istri menelusuri Pantai Pattaya, berkaki sepanjang satu kilometer sebelum kembali ke hotel. (Bersambung)

Baca Juga:
Seri Pertama: Wisata Jurnalistik di Thailand (1): Nikmat di Mata, Siksa di Lidah
Seri Kedua: Wisata Jurnalistik di Thailand (2): Merokok di Dalam Rumah Setara dengan KDRT

EDITOR: Redaksi KrebaDi’a.com