Wisata Jurnalistik di Thailand (2): Merokok di Dalam Rumah Setara dengan KDRT

LASER BUDDHA --- Ukiran patung Buddha ini berada di kawasan Pattaya Thailand. Dibuat pada tahun 1996 untuk merayakan 50 tahun tahta kerajaan. Ukurannya 130 x 70 meter dan diukir pada tebing batu menggunakan teknologi laser. (FOTO: Etgal Putra/KrebaDi'a.com)
LASER BUDDHA --- Ukiran patung Buddha ini berada di kawasan Pattaya Thailand. Dibuat pada tahun 1996 untuk merayakan 50 tahun tahta kerajaan. Ukurannya 130 x 70 meter dan diukir pada tebing batu menggunakan teknologi laser. (FOTO: Etgal Putra/KrebaDi'a.com)

KrebaDi’a.com — Tempat parkir Hotel Al Meroz Bangkok di mana saya dan istri saya Indah Jemidin menginap letaknya tidak begitu jauh dari area restoran tempat kami baru saja menikmati makan malam.

Berjarak kurang lebih 100 meter dari restoran, tempat parkir itu cukup luas untuk memarkir 30-an mobil berukuran sedang.

Tidak ada tukang parkir di sana. Keluar dan masuknya kendaraan diatur oleh mesin parkir otomatis yang diletakkan tepat di sisi jalan masuk menuju parkiran.

Parkiran dikelilingi dengan kanopi berwarna biru gelap dan tiangnya dibuat dari baja ringan.

Sepanjang kanopi tersebut, ada puluhan bangku kecil yang didesain hanya muat untuk satu orang.

Melihat ada bangku, saya berjalan menuju area kanopi tadi.

Di sana sudah duduk beberapa orang lain yang tampak sedang membahas sesuatu dalam bahasa Thailand.

Saya mengucapkan salam pada mereka sambil melemparkan senyum. Mereka spontan membalas senyum disertai anggukan kepala.

Saya lalu memilih bangku di dekat tempat sampah yang berjarak tiga bangku dari orang-orang tadi.

Setelah duduk, saya mengeluarkan rokok dari saku dan menyalakan pemantik untuk menyulut rokok.

Baru satu embusan asap, tiba-tiba saya mendengar Arun memanggil.

“Pak Etgal, mari ngerokok di sini saja,” katanya.

Saya menoleh dan melihat Arun yang sudah berdiri di tengah lapangan parkir. Dia melambaikan tangan sambil memberi isyarat agar saya datang mendekat.

“Oke Pak,” saya menjawab.

Saya lalu berdiri dan berjalan menuju Arun yang menunggu di tengah lapangan parkir.

Di sana Arun berdiri merokok sambil bersandar pada sebuah mini bus.

Dia menarik dalam rokoknya, menahan napas sebentar lalu mengembuskan asap sambil mendongakkan kepalanya ke arah langit.

Asap yang keluar dari mulutnya mengepul naik lalu disapu oleh angin malam kota Bangkok.

Kurang dari semenit, kami berdua berdiri mematung sambil mengisap rokok. Sesekali tampak Arun mengalihkan pandangannya pada beberapa orang yang duduk di bangku kanopi parkiran.

“Kenapa kita merokok di sini Pak?” saya bertanya.

“Oh iya Pak Etgal, di Bangkok kita tidak boleh merokok sembarangan. Bisa kena denda nanti kalau ketahuan pemerintah,” jawab Arun.

“Kena denda bagaimana maksudnya Pak?” saya bertanya karena masih bingung.

Arun lalu menjelaskan bahwa di Bangkok, satu-satunya tempat untuk merokok hanyalah tempat parkir kendaraan.

Tetapi, merokok di parkiran pun tetap ada aturannya.

“Kita tidak boleh merokok jika parkiran itu ada atapnya,” kata Arun.

Praktis, jika parkirannya punya kanopi seperti tempat kami berdiri, maka perokok seperti kami berdua harus berdiri di tempat terbuka sebelum mulai menyalakan rokok.

Bagi heavy smoker, kalau merokok di malam hari di tempat terbuka, tentu aturan ini tidak jadi masalah. Tapi akan jadi masalah jika kepepet ingin merokok di siang hari.

“Suhu rata-rata kalau siang di kota Bangkok sekitar 34 derajat celcius, bisa gosong kita kalau merokok di lapangan,” kata Arun.

Tahun 2006 saat masih SMP, saya mendengar cerita dari ayah saya Frans Anggal, sekembalinya dia dari studi jurnalistik di tiga kota di Australia: Melbourne, Canberra, dan Sidney.

Katanya, selama berada di Australia, jika ingin merokok maka ia harus melipir ke balkon apartemen.

Di sana, asap hangat Gudang Garam harus beradu sengit dengan angin dingin yang berembus di balkon apartemen. Tidak ada kenikmatan dalam tiap isapan yang ia tarik.

Merokok dalam ruangan sangat dilarang, karena akan mengaktifkan alarm asap.

Petugas akan muncul dalam waktu singkat, dan untuk itu si perokok sudah pasti akan dikenai denda.

Sama seperti dia, saat berlibur di Thailand, saya ogah mengambil risiko didenda karena rokok. Bayangkan kalau langsung kena denda di hari pertama liburan.

istockphoto 1070089874 612x612 1

MUSUH BERAT PEROKOK — Jangan coba-coba melanggar aturan merokok di Thailand. Dendanya 5.000 bath, atau setara 2,3 juta rupiah.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

 

Wacana Lama di Thailand

Sejak tahun 2019, pemerintah Thailand gigih memperketat aturan tentang rokok.

Semua hal menyangkut rokok diperketat dan dipagari oleh berbagai aturan.

Pemerintah Thailand mengatur soal di mana saja rokok boleh dijual, di mana saja rokok boleh diisap, hingga besarnya denda jika tertangkap merokok.

Komitmen Pemerintah Thailand dalam menekan jumlah perokok di negara mereka sudah masuk kategori serius.

“Sejak akhir tahun 2019 pemerintah resmi menerapkan aturan larangan merokok di rumah bagi seluruh warga Thailand,” kata Arun.

Aturan ini didasarkan pada bahaya kesehatan akibat paparan asap rokok yang mungkin dihirup anggota keluarga lain.

Selain membuat aturan yang melarang warganya merokok, produk rokok juga dibuat makin sulit untuk dijangkau warga Thailand. Baik dari harga hingga peredarannya.

Peredaran rokok dibatasi, hanya tersedia di toko atau minimarket yang dikontrol ketat oleh otoritas Thailand.

Salah satu minimarket di Thailand yang memiliki izin untuk menjual rokok adalah Seven Eleven.

“Ini Marlboro yang dijual di Thai. Bungkusnya beda. Bukan bungkus merah seperti di Indo,” kata Arun sambil menunjukkan sebungkus rokok yang dia keluarkan dari saku celananya.

“Di sini, satu bungkus rokok harganya bisa sampai 340 bath (sekitar 153 ribu rupiah). Suka-suka yang menjual. Kalau kepepet pengen ngerokok, ya sudah,mau tak mau terpaksa beli saja,” katanya.

“Bagaimana, Pak Etgal mau coba rokok ini?” tanya Arun.

Saya penasaran ingin mencoba seperti apa sih rasa sebatang rokok mahal. Arun menyodorkan bungkus rokoknya kepada saya. Saya mengambil sebatang, menyulutkan api kemudian perlahan menghirup dalam asapnya.

Aroma asap dari rokok yang saya coba memang identik dengan Marlboro. Namun rasanya sedikit lebih pahit dengan aksen kering-kering gatal di ujung lidah. Mirip seperti rokok Country, rokok tiruan Marlboro dengan harga lebih terjangkau.

“Ini serius harganya 340 bath, Pak Arun?” tanya saya.

“Iya, betul ini 340 bath. Enak?” jawab Arun.

“Jujur saja Pak, tidak enak. Kalau di Indo rokok ini dijual 340 bath, kami pasti berhenti merokok, ” kata saya sambil tertawa.

Arun ikut tertawa.

ROKOK MAHAL --- Ini rokok Marlboro yang dijual di Thailand. Merek rokoknya diperkecil, dan desain bungkusnya sengaja dibuat buruk agar tidak menarik. Harga per bungkusnya 340 bath, atau setara dengan 150 ribu rupiah.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi'a.com
ROKOK MAHAL — Ini rokok Marlboro yang dijual di Thailand. Merek rokoknya diperkecil, dan desain bungkusnya sengaja dibuat buruk agar tidak menarik. Harga per bungkusnya 340 bath, atau setara dengan 150 ribu rupiah. (Foto: Etgal Putra/Krebadia.com)

 

 

UU Perlindungan Keluarga Thailand

Peraturan soal rokok diatur Pemerintah Thailand dalam Undang-Undang Pengembangan dan Perlindungan Keluarga.

Berdasarkan undang-undang itu, telah ditetapkan bahwa aktivitas merokok di dalam rumah dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga.

Ini hal baru yang buat saya kaget sekaligus takjub.

Merokok dalam rumah masuk kategori kekerasan dalam rumah tangga karena akan membahayakan kesehatan anggota keluarga yang menjadi perokok pasif.

“Di rumah, kalau saya lagi off jadi guide, saya kalau merokok harus ke halaman belakang,” kata Arun.

“Memangnya kalau ketahuan merokok di rumah nanti bagaimana Pak?” saya bertanya.

Arun lalu menjelaskan, jika ketahuan lalu dilaporkan, maka pelanggar akan disidang di pengadilan.

Lalu jika menurut pengadilan si perokok terbukti bersalah telah merokok di dalam rumah, maka perokok akan didenda.

Tidak sampai disitu saja. Si perokok kemudian dikirim ke pusat rehabilitasi untuk menghilangkan kebiasaan merokok.

“Sekarang ini dalam kepala orang Thailand, perokok itu sama seperti teroris. Bukan pakai bom, tapi pakai asap,” kata Arun.

“Kalau seperti itu ketatnya, kenapa Pak Arun masih merokok?” canda saya.

“Aduh Pak, susah berhenti saya. Di perusahaan saya, yang lancar bahasa Indo cuma beberapa orang. Saya salah satunya. Bagaimana bisa berhenti kalau tiap minggu ketemu orang Indo. Semua merokok lagi,” jawab Arun sambil tertawa.

“Kalau begitu kan Bapak bisa minta rolling kalau ada rombongan tur dari Indo,” saya merespon.

“Wah sulit tolak saya kalau itu, orang Indo itu cepat akrab. Tidak pelit juga,” jawab Arun.

“Orang mana saja yang pelit Pak?” tanya saya penasaran.

“Tidak semua, tapi biasanya yang dari Singapore atau dari Vietnam. Mereka liburan, tapi iritnya kayak lagi krisis dunia. Mereka jauh-jauh datang ke Thai cuma beli Mango Sticky Rice. Sudah begitu tidak merokok pula,” jawab Arun sambil tersenyum.

Mango Sticky Rice yang Arun sebut adalah sebuah jajanan khas Thailand.

Jajanan ini sangat populer di Thailand. Selain rasanya yang enak, harganya pun murah meriah.

Di Bangkok, rata-rata satu porsi Mango Sticky Rice dijual dengan harga 50 bath atau sekitar 23 ribu rupiah.

Jajanan ini bahan dasarnya cuma tiga. Mangga, ketan, dan santan kelapa.

Penyajian jajanan ini juga unik.

Buah mangga yang sudah masak dikupas lalu dipotong seukuran jari orang dewasa. Potongan mangga tadi lalu ditata di atas ketan kukus yang sudah didinginkan. Sebagai pelengkap, santan kental yang sudah dimasak bersama gula dan daun pandan, disiram di atas potongan mangga dan ketan tadi.

Soal rasa, saya jamin enaknya sonde ada lawan.

Bayangkan saja. Segar dan manisnya mangga dipadukan dengan rasa lengket-lengket creamy dari ketan dan santan.

photo output

JAJANAN WAJIB — Wajib hukumnya mencoba Mango Sticky Rice saat berlibur ke Thailand. Ini jadi pencuci mulut yang paling pas untuk melawan rasa asam dan pedas masakan Thailand.
FOTO: Etgal Putra/KrebaDi’a.com

 

Karena Mango Sticky Rice, rasa percaya saya pada makanan Thailand mulai pulih setelah sebelumnya sempat dilukai oleh Tom Yum

Kami berdua membicarakan banyak hal selama merokok. Mulai dari budaya, sistem politik, keberagaman gender di Thailand, hingga kelakuan nyeleneh raja Thailand saat ini.

Saya sempat menyinggung soal foto raja Thailand yang pernah viral karena pakai g-string.

Arun berpesan, untuk topik soal raja, pendapatnya jangan dikutip.

“Tulis yang baik-baik saja ya Pak,” pesan Arun pada saya.

Memang, waktu pertama bertemu di bandara, saya memperkenalkan diri sebagai jurnalis yang sedang berlibur bersama istri.

Selain soal g-string sang raja, banyak informasi yang saya baca di internet yang perlu saya minta konfirmasi pada Arun.

Salah satunya ya soal ganja. (Bersambung)

Baca Juga:

EDITOR: Redaksi KrebaDi’a.com