Wisata Jurnalistik di Thailand (6): “Ikan-Ikan Ini Dulunya adalah Orang Bangkok”

Avatar of Etgal Putra
H Chao Phraya rivier van Bangkok f lightmeister

Krebadia.com — Setelah menghabiskan malam di Pattaya, keesokan harinya kami kembali menuju Bangkok. Di Bangkok, agenda wisata kami ada dua. Sungai Cao Phraya dan Kuil Wat Arun.

Cao Phraya dengan panjang total sekitar 372 kilometer menjadi salah satu sungai terpanjang sekaligus terbesar di Thailand.

Memang sungai ini tidak sepanjang sungai lain seperti Mekong, tetapi Cao Phraya punya atribut lain yang tidak dimiliki oleh sungai lain di Thailand.

Cao Phraya adalah ikon kota Bangkok. Sungai ini jadi nadi kota sejak awal Bangkok dibangun. Mengalir sepanjang kota Bangkok hingga bermuara di Teluk Thailand.

Literatur asing menyebut Cao Phraya dengan nama The King’s River atau Sungai Raja. Namun penduduk Bangkok menyebut sungai ini dengan nama yang berbeda.

“Cao Phraya itu nama lainnya adalah Sungai Panglima. Kalau bilang Sungai Raja, bisa juga tapi kurang tepat,” kata Arun tour guide kami.

Cao Phraya dan Wat Arun itu satu paket. Kalau mau mengunjungi Wat Arun, ya harus berperahu menyusuri Cao Phraya. Demikian sebaliknya, kalau mau menyusuri Cao Phraya maka otomatis akan mengunjungi Wat Arun.

Ada banyak dermaga di sepanjang sungai Cao Phraya. Dermaga ini disediakan oleh pengusaha pariwisata yang beroperasi di sepanjang sungai ini.

Salah satu dermaga yang populer di Bangkok adalah dermaga River City. Ini adalah dermaga tempat perahu kami bersandar.

WhatsApp Image 2023 06 21 at 23.48.28
Dermaga River City (Etgal Putra/Krebadia.com)

Perahu yang kami tumpangi ukurannya cukup besar. Mampu menampung 60 penumpang sekali jalan.

Ada lima belas deret bangku yang berpasang-pasangan di sisi kiri dan kanan perahu. Penumpang yang duduk di sisi terluar wajib menggunakan pelampung.

Perahu yang kami tumpangi ini unik. Mesinnya pakai mesin mobil, jadi alat kemudinya pakai stir, pedal gas, kopling, dan tuas persneling untuk memasukkan gigi mundur. Rem tidak dibutuhkan, karena perahu tidak memiliki ban. Kapten yang mengemudikan perahu ini beraktivitas layaknya sedang mengemudi sebuah mobil.

“Bapak Ibu, pelampungnya harus dipakai ya. Ini supir kita baru latihan. Cara nyetir-nya buruk, kadang suka oleng,” kata Arun menggunakan bahasa Indonesia sambil menepuk bahu sang sopir.

Kapten yang bahunya ditepuk Arun terlihat senyum-senyum sambil mengangguk kepala seolah dia paham apa yang barusan dikatakan oleh Arun. Jelas dia tidak tahu bahasa Indonesia. Dia mengira Arun sedang memujinya di depan kami.

Selain karena gaya mengemudi kapten yang ugal-ugalan, risiko tercebur ke dalam sungai juga cukup besar.

Sebagai sungai yang lebarnya hampir satu kilometer, Cao Phraya juga punya gelombang. Gelombang ini dipicu oleh angin yang berembus dari arah timur tenggara atau arah muara. Kalau anginnya kencang, gelombang sungai bisa sampai satu setengah meter tingginya. Cukup tinggi untuk membalikkan perahu yang kami tumpangi.

Kami bersyukur, saat itu sungai sedang tenang. Ada sedikit angin, namun hanya berembus pelan dan tidak mengganggu perjalanan kami.

Kami bertolak dari dermaga sekitar pukul 9 pagi dan berlayar menuju utara kota Bangkok. Tujuan utamanya, Kuil Wat Arun.

WhatsApp Image 2023 06 21 at 23.48.28 4
Tour guide kami Kun Arun membantu peserta tour saat naik perahu (Etgal Putra/Krebadia.com)

Sungai tampak belum begitu ramai. Hanya beberapa perahu saja yang sudah beroperasi mengantar wisatawan menyusuri sungai.

Sepanjang perjalanan Arun mulai bercerita, dengan setengah berteriak untuk mengimbangi deru mesin dan bunyi cipratan air.

“Jadi Bapak Ibu, sungai ini namanya Cao Phraya. Kalau dalam bahasa Indo, namanya Sungai Panglima. Di sini anginnya kencang. Jadi harus pegangan ya Bapak Ibu,” teriak Arun.

“Sungai ini terkenal sejak dulu. Kota Bangkok hidup dari sungai ini. Dulu sebelum ada mobil, warga Bangkok kalau ke mana-mana pasti lewat sungai. Ada banyak kanal ke dalam kota sehingga warga Bangkok bisa pakai perahu kalau malas jalan kaki,” teriak Arun lagi.

Sejarah memang mencatat bahwa pada masanya, Bangkok sempat disebut sebagai Venesia-nya Asia.

Saat itu, Kerajaan Thailand membuat kanal-kanal kecil untuk mengatasi masalah mobilisasi yang sering menghambat pergerakan pasukan tempurnya.

Kanal dibuat dengan cara mengalirkan air dari sungai Cao Phraya. Air tersebut akan masuk hingga ke pelosok kota Bangkok.

Untuk mencegah banjir bila permukaan sungai Cao Phraya mulai tinggi, kerajaan memasang pintu kanal di setiap gerbang masuk air dan di setiap pintu air kanal yang lebih kecil.

Sekarang ini, bekas kanal yang dibangun oleh kerajaan masih bisa dilihat di Bangkok. Namun kanal tersebut sudah berubah fungsinya. Bukan lagi untuk transportasi.

Ikan Patin, Ikan Reinkarnasi

Setelah sekitar sepuluh menit kami berlayar, kapten perahu perlahan membelokkan perahu ke tepi barat sungai.

Sepuluh meter dari tepi sungai, mesin kapal dimatikan oleh kapten. Arun lalu berdiri dan memberikan arahan.

Kali ini dia tidak perlu berteriak. Suara berisik dari mesin perahu sudah tidak lagi mengganggu.

“Bapak Ibu, sekarang ini kita sedikit lagi sampai di Wat Arun. Tapi sebelum itu, saya akan tunjukkan sesuatu.”

Arun lalu mengambil sesuatu dari dalam kardus yang ada di samping kemudi kapal. Ternyata isinya adalah sebungkus roti.

“Jadi Bapak Ibu, di sungai ini ada banyak sekali ikan. Ini ikan kalau di Indonesia namanya ikan Patin. Jumlahnya banyak sekali. Bisa jutaan ekor,” kata Arun.

Selesai menjelaskan, Arun membuka satu bungkus roti. Dia lalu memecahkan roti itu menjadi beberapa bagian kecil dan menebarkannya ke setiap sisi perahu.

Dalam hitungan detik, ratusan ekor ikan berukuran sebesar paha pria dewasa langsung berenang naik dan saling berebut potongan roti yang ditebarkkan Arun.

WhatsApp Image 2023 06 21 at 23.49.29
Memberi makan ikan reinkarnasi (Etgal Putra/Krebadia.com)

Banyak peserta tour yang kaget. Terutama yang posisi duduknya di kursi paling pinggir perahu.

“Jangan takut Bapak Ibu. Mereka cuma berebut roti,” kata Arun.

Ada peserta tour yang bertanya apakah ikannya bisa menggigit manusia.

“Bisa bisa. Ini kalau rotinya udah habis dimakan, kalau Bapak Ibu celupkan tangan, nanti mereka serbu,” jawab Arun.

Suasana langsung riuh. Beberapa ibu-ibu yang duduk di pinggir terlihat sedikit menggeser tubuh mereka menjauhi pinggir perahu.

Setelah mulai tenang, Arun lanjut berbicara.

“Jadi Bapak Ibu, ikan-ikan ini adalah saudara kita orang Bangkok. Orang Bangkok yang Buddha, kalau mereka berbuat dosa dan minta maaf di Kuil Wat Arun, mereka akan melepas burung atau ikan di sungai ini.”

“Sungai ini ikannya ada jutaan ekor. Artinya dosa orang Bangkok ada jutaan juga ya,” sambung Arun sambil tertawa terbahak-bahak.

Saya dan istri Indah Jemidin saling bertukar pandang. Selera humor Arun ternyata cukup “keji”.

Setelah melemparkan humornya tadi, Arun kemudian menceritakan asal usul ikan dan bagaimana pandangan iman orang Bangkok terhadap ikan di sungai Cao Phraya.

“Bapak Ibu, ikan-ikan ini dalam kepercayaan kami orang Buddha adalah reinkarnasi dari orang-orang yang sudah meninggal. Mereka yang meninggal jika banyak buat dosa maka akan reinkarnasi jadi binatang. Ada yang jadi ikan, ada yang jadi burung. Kalau benar-benar jahat akan jadi ulat,” jelas Arun.

Arun juga menjelaskan bahwa ikan di sungai ini hidupnya aman dari gangguan manusia.

Orang Bangkok takut untuk menangkap apalagi memakan ikan hasil reinkarnasi.

“Tapi Bapak Ibu, karena jumlahnya jutaan ekor, jadi mereka harus berebut makanan. Yang kuat akan dapat makan banyak. Yang lemah tidak dapat makan.”

“Jadi saya bawa banyak roti. Bisa Bapak Ibu beli. Murah saja, cuma 20 bath. Kita bantu beri makan ikan-ikan ini. Mereka dulunya orang Bangkok. Kasihan mereka kelaparan.”

20 bath itu sekitar 9.000 rupiah. Dalam sekejap semua peserta tour berebut membeli roti milik Arun, termasuk saya dan istri.

Satu kardus roti yang dia bawa habis terjual.

Setelah kami selesai memberi makan ikan, kapten perahu segera menyalakan kembali mesinnya.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Wat Arun.

Sesampainya di dermaga Wat Arun, saya menghampiri Arun dan bertanya pada dia.

“Untung banyak hari ini Pak?” tanya saya.

“Lumayan ini dapat 1.200 bath Pak Etgal,” jawab Arun sambil tersenyum cerah.

“Wah bisa traktir rokok nih Pak,” kata saya lagi.

“Tenang saja Pak Etgal, balik hotel nanti saya belikan bapak satu bungkus,” kata Arun sambil tertawa.

Hingga saya balik ke Indonesia, sebungkus rokok yang Arun janjikan tidak pernah saya terima. (Bersambung)

EDITOR: Redaksi Krebadia.com