Buntut Somasinya Ani Agas, 2 Jurnalis Kirim Surat Terbuka Minta Maaf  ke Pejabat Pemkab Manggarai Timur

Avatar of Redaksi Krebadia
gabung an markus e1685466612956

TIDAK TERKOOPTASI — Markus Makur dari Kompas.com (kiri) dan Damianus “An” Babur dari Indometro.id, dua dari amat sedikit jurnalis di Manggarai Timur yang tidak terkooptasi oleh kekuasaan setempat.
FOTO: Istimewa

KrebaDi’a.com — Buntut dari somasi Kristiani Pranata Agas (Ani Agas) sekretaris Dinas Kesehatan (sekdinkes) Kabupaten Manggarai Timur (Matim) kepada Damianus “An” Babur, tergeraklah hati dua jurnalis  melayangkan surat terbuka kepada  masyarakat dan secara khusus pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Matim.

Isi surat terbuka itu berupa permintaan maaf, secara istimewa kepada puan tuan agung nan mulia pejabat Pemkab Matim. Sebab, selama ini pemberitaan sebagai bentuk kontrol media atas penyelenggaraan  pemerintahan Manggarai Timur ternyata dinilai sebagai perbuatan tidak menyenangkan, baik bagi masyarakat maupun dan terutama bagi pejabat tanpa cacat cela Pemkab Matim.

Surat terbuka itu ditulis oleh Markus Makur dan An Babur. KrebaDi’a.com menerimanya melalui pesan Whatsapp pada Jumat 26 Mei 2023.

Markus Markus adalah jurnalis Kompas.com. Sedangkan An Babur jurnalis Indometro.id. Keduanya berdomisili di Manggarai Timur, ber-KTP Manggarai Timur, bayar pajak di Manggarai Timur, dan banyak menulis berita tentang Manggarai Timur.

Dihubungi terpisah per telepon, Jumat 26 Mei 2023, kedua jurnalis ini menjelaskan bahwa somasi Ani Agas kepada An Babur membuka kesadaran mereka bahwa ternyata khusus untuk Mangggarai Timur, produk jurnalistik berupa berita, gambar, dan video yang mengkritisi laku sewenang-wenang kekuasaan merupakan perbutan tidak menyenangkan. Dan karena tidak menyenangkan maka pantas dan layak serta terpujilah jika jurnalis yang melakukan perbuatan itu disomasi.

Buktinya sudah ada. An Babur jurnalis Indometro.id memvideokan pernyataan Ani Agas—yang hanyalah seorang sekdinkes—menawarkan tanah dan gedung puskesmas kepada kapolda NTT untuk pembangunan pos polisi (pospol). Video itu dia unggah ke Tiktok. Jadi viral. Dia pun disomasi oleh Ani Agas. Tuntutan somasinya: An Babur harus cabut itu video, harus bikin klarifikasi di media, dan harus minta maaf kepada Ani Agas. Semuanya sudah An Babur lakukan.

Bagi Markus Makur dan An Babur, somasi Ani Agas dengan tiga poin tuntutannya itu membangkitkan kesadaran baru bahwa rupanya khusus untuk puan tuan agung mulia tanpa cacat cela pejabat Manggarai Timur, kontrol pers atas kesemauguean kekuasaan merupakan perbuatan tidak menyenangkan dan karena itu patut disomasi.

Rupanya yang menyenangkan puan tuan setengah dewa seperempat malaikat adalah membiarkan saja kesewenangan terjadi. Jangan diliput, jangan diberitakan. Jangan direkam. Jangan divideokan, jangan disebarkan. Mau berantakan jadi apa ini birokrasi Manggarai Timur tidak apa-apa. “Yang penting aku senang, aku menang. Persetan orang susah karena aku.Yang penting asyik. Sekali lagi, asyik!” mengutip lirik lagu “Bento” karya Iwan Fals.

Frans Anggal pemimpin redaksi KrebaDi’a.com yang “menonton” birokrasi Matim selama lima tahun tinggal di Borong mengaku bingung melihat pola laku pejabat tertentu yang mengintervensi hampir semua organisasi perangkat daerah.

“Saya menangkap keresahan serius internal birokrasi di Lehong. Banyak yang mengeluh dan tidak sedikit yang bertanya retoris, yang pegang ini kabupaten sebenarnya siapa? Bupati terpilih ataukah bupati kecil?” kata Anggal.

Kembali ke “laptop” surat terbuka Markus Makur dan An Babur. Agar lebih jelas seperti apa isi surat mereka, KrebaDi’a memuatnya secara lengkap berikut ini.

Baca Juga : Kasus Sekdinkes Ani Agas Tawarkan Tanah Puskesmas kepada Kapolda NTT, Kadinkes Surip Tintin: “Maaf, Saya Tidak Bisa Kasih Komentar”

Surat Permintaan Maaf Markus Makur

Saya Markus Makur, wartawan di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, Indonesia,  melekat sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia ber-KTP Manggarai Timur.

Saya meminta maaf kepada bupati, wakil bupati, sekda Matim, kadis, sekdinkes, asisten, staf ahli, camat dan seluruh aparat sipil negara (ASN) di seluruh Manggarai Timur.

Alasan permintaan maaf saya, bahwa selama ini sebagai wartawan di Manggarai Timur melekat sebagai warga negara Indonesia saya telah mempublikasikan berita tentang jalan rusak, pendidikan, penanganan ODGJ dan difabel, pariwisata, kesehatan, ekonomi dan kebijakan publik. Mungkin berita-berita itu sudah melukai hati bapak ibu pejabat publik. Saya minta maaf.

Selain menjalankan tugas jurnalistik, sebagai warga (citizen) yang adalah jurnalis, saya menulis juga berbagai persoalan di Manggarai Timur di media sosial Facebook dan lain sebagainya.

Sebab saya tahu bahwa sebagai wartawan sekaligus warga negara, saya memiliki hak dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat baik di tempat saya bekerja maupun di media sosial (medsos). Kegiatan bersmedsos telah melahirkan apa yang dinamakan jurnalisme warga (citizen journalism). Ini telah menjadi salah satu pilar demokrasi.

Dengan bertumpu pada pilar demoktrasi itulah, kegiatan saya yang adalah wartawan sekaligus warga dilindungi oleh UUD NKRI,  Undang-Undang Pers, dan Kode Etik Jurnalistik. Dengan pilar dan payung hukum itulah saya melakukan publikasi di media sosial sebagai bentuk berdemokrasi.

Ternyata semua publikasi  dan kebebasan berekspresi dan berdemokrasi melalui media sosial itu dinilai oleh pejabat publik sebagai (dugaan) perbuatan tidak menyenangkan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur.

Yang menjadi pertanyaan saya, kalau  Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur menilai saya telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan, mengapa saya tidak diberi teguran lewat jalur hukum. Mengapa saya tidak disomasi?

Sebagai wartawan sekaligus warga Indonesia di Manggarai Timur saya dilindungi oleh undang-undang . Saya memiliki hak asasi manusia serta hak hukum sebagai warga negara. Hak-hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam undang-undang dan Konvensi PBB menjamin kebebasan berekspresi, apalagi di era digital saat ini. Hak berpendapat, hak mengkritisi kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat.

Untuk diketahui bahwa hak saya sudah diserahkan kepada pejabat publik lewat pesta demokrasi. Atas dasar itu saya memiliki hak untuk menuntut dan meminta pertanggungjawaban pejabat publik agar adil dan benar mengurusi rakyatnya.

Hak-hak asasi manusia juga mengatur hak digital. Dengan itu saya berhak menyatakan pendapat dan mempublikasikan kebijakan dari pejabat publik dan mengawasi, mengontrol serta mengkritisi kebijakan tidak berkeadilan sosial.

Ini salah satu praktik berdemokrasi yang saya pahami di era digital. Wartawan yang melekat sebagai warga negara memiliki hak dan kebebasan berekspresi di akun media sosial.

Saya merasa kebebasan berekspresi sebagai salah satu pilar demokrasi dibungkam dan ditindas oleh oknum-oknum pejabat yang lebih mementingkan kekuasaan untuk dirinya, keluarganya, kelompoknya, dan bukan untuk rakyat Manggarai Timur.

Sejauh bekerja di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur, saya yang wartawan sekaligus warga negara telah mengunggah banyak hal di akun media sosial. Mungkin begitu banyak unggahan tentang berbagai kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur yang tidak berpihak kepada rakyat, seperti jalan rusak, air minum yang belum beres, pelayanan kesehatan, masalah pendidikan, ekonomi kerakyatan, dan pariwisata. Mengapa saya tidak disomasi?

Sebagai jurnalis dan melekat sebagai warga Indonesia di Manggarai Timur, saya sudah banyak membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur. Bahkan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur diapresiasi oleh Pemerintah Pusat khususnya di bidang kesehatan jiwa (keswa).

Jikalau semua pelayanan saya yang wartawan sekaligus warga negara ini telah melukai pejabat publik dari tingkat atas sampai tingkat bawah, maka dari hati yang tulus, bersih, saya sampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya.

Demikian surat terbuka  permintaan maaf saya.

Markus Makur

Baca Juga : Penasihat Hukum Ani Agas Dr. Jonneri Bukit: Dasar dari Somasi kepada An Babur Bukan Tuduhan, Melainkan Dugaan Perbuatan Tidak Menyenangkan

Surat Permintaan Maaf An Babur

Saya, Damianus Babur (Andre Babur), adalah perekam sekaligus penyebar video viral percakapan Sekdinkes Matim Ani Agas menawarkan gedung dan tanah puskesmas di Matim kepada kapolda NTT untuk dibangunkan pospol. 

Selain warga asli Riwu yang berdomisili di Desa Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, saya juga merupakan wartawan Indometro.id, salah satu media online yang bertugas di Manggarai Timur. 

Saya disomasi oleh Sekdinkes Matim Ani Agas pada tanggal 17 Mei 2023 lalu karena merekam dan menyebarkan video percakapan dua pejabat publik, di ruang publik, membicarakan kepentingan publik. Dua pejabat publik itu Ani Agas dan kapolda NTT. 

Dalam somasi tersebut, sekdinkes Matim merasa tindakan saya tidak menyenangkan bagi dirinya sebagai pejabat. Sehingga dia, Ani Agas, menuntut agar saya melakukan klarifikasi serta  meminta maaf, dan hal itu sudah saya penuhi. 

Berkenaan dengan itu, saya meminta maaf  kepada seluruh warga Manggarai Timur dan seluruh pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur karena saya sudah memberitakan dan memviralkan percakapan  Sekdinkes Matim Ani Agas yang menawarkan gedung dan tanah-tanah puskesmas di Matim kepada institusi Polri.

Saya juga meminta maaf kepada pejabat daerah di Lehong karena saya sudah banyak memberitakan masalah kesehatan, pembangunan yang buruk, peralihan aset daerah tanpa prosedur yang jelas, dan masalah dugaan korupsi di Manggarai Timur. Ternyata, tindakan saya tersebut tidak menyenangkan para pejabat publik di Matim. Itu terbukti setelah saya disomasi oleh  Ibu Sekdinkes Matim.

Padahal saat saya mengambil video percakapan tersebut, saya benar-benar paham dan benar-benar sadar bahwa saya sedang mengambil video yang subjeknya adalah dua pejabat publik (kapolda dan sedinkes), di mana keduanya bercakap-cakap tentang aset publik (tanah puskesmas yang ditawarkan untuk pembangunan pos polis), dan itu percakapan dilakukan di ruang publik.

Adalah hak saya sebagai wartawan yang melekat dengan status warga negara Indonesia ber-KTP Manggarai Timur merekam tanpa minta izin kedua pejabat publik. Sebagai wartawan-cum-warga negara, saya berhak mengunggah video di media sosial. Ini yang disebut jurnalisme warga (citizen journalism)yang sudah diakui sebagai pilar kelima demokrasi.

Singkatnya, saya mengambil video percakapan di ruang publik, oleh pejabat publik, tentang aset publik. Video tersebut tanpa diedit, langsung dipublikasikan. Ternyata dinilai salah.

Sekian surat terbuka ini saya buat agar warga Matim tahu bahwa tindakan saya  memberitakan maslah-masalah tersebut tidak menyenangkan bagi  pemangku kebijakan di Matim. 

Terima kasih. 

Damianus Babur (Andre Babur)

Baca Juga : Tanggapi Somasi Sekdinkes Matim Ani Agas, An Babur Pengunggah Video Viral Itu Akhirnya Minta Maaf

Sekilas tentang Minta Maaf

Berkenaan  dengan permintaan maaf jurnalis Markus Makur dan An Babur, KrebaDia’a.com mencatat beberapa fakta menarik sebagai berikut.

Orang Jepang dikenal karena disiplinnya. Itu hal besar yang membuat Negeri Sakura itu maju pesat.

Selain disiplin, ada hal kecil yang terkesan remeh-temeh tapi sesungguhnya membuat negeri ini terkenal dan patut diteladani. Hal remeh-temeh itu ialah kebiasaan meminta maaf.

Muhammad Zulkifli Mochtar penulis buku Menyelidiki Kekuatan Mereka (The Inspired Thoughts from Japan)  yang hidup 15 tahun di Jepang bersaksi bahwa sekecil apa pun kesalahan, salah atau tidak, orang Jepang mendahulukan minta maaf.

Bagi orang Jepang, alasan kesalahan itu nomor dua, minta maafnya tetap nomor satu.

Bisa dibayangkan kalau kesalahan yang dilakukan itu serius, maka lazimnya orang Jepang tidak hanya minta maaf. Mereka pasti mengambil tindakan yang tidak biasa dilakukan orang Indonesia, yaitu mengundurkan diri.

Orang Jepang mundur jika merasa gagal atau lalai dalam melaksanakan amanah yang diemban. Berbeda dengan orang di negeri lain yang urat malunya sudah putus. Bayangkan, Jepang pernah mengganti perdana menteri 4 kali dalam 4 tahun.

Ini bedanya dengan orang di negeri keturunan Majapahit yang penuh kepahitan. Jangankan mundur dari jabatan, minta maaf atas kesalahan saja sulitnya minta ampun.

Di negeri +62 ini, pejabat bisa seenaknya bikin salah, lalu paksa orang lain minta maaf kepada dia. Jungkir balik. Dia yang bicara tidak tahu diri, lalu saat dikritik bukannya minta maaf, dia malah bikin somasi. Aneh bin ajaib.

Itu tentang sebuah negeri. Kalau tentang seorang pribadi, Paus Yohanes Paulus II patut dicatat dengan tinta emas.

Santo asal Polandia yang bernama asli Karol Józef Wojtyła ini adalah paus yang paling banyak menyampaikan permintaan maaf.

Wikipedia menulis, pada masa jabatan panjangnya sebagai petinggi Gereja Katolik Sedunia, Paus Yohanes Paulus II meminta maaf kepada Yahudi, Galileo, wanita, muslim yang dibunuh  Pasukan Salib, dll.

Sebagai Sri Paus, ia resmi membuat permintaan maaf secara publik untuk lebih dari 100 kesalahan.

Selanjutnya Paus Benediktus XVI asal Jerman. Dalam suratnya yang diterbitkan Vatikan pada Februari 2022, ia menyampaikan permintaan maaf umum kepada para penyintas pelecehan seksual. 

“Sekali lagi saya hanya bisa mengungkapkan kepada semua korban pelecehan seksual rasa malu saya yang mendalam, kesedihan saya yang mendalam dan permintaan tulus saya untuk pengampunan.”   

Dalam surat tersebut, tulis tempo.co, pria bernama asli Joseph Ratzinger itu mengakui tidak melakukan kesalahan pribadi atau spesifik.

Paus saja minta maaf meski untuk kesalahan yang tidak dia lakukan sendiri. Yang lain, yang bukan paus, yang jelas-jelas melakukan kesalahan, eh berlagak lebih suci daripada paus. Ironis.

Meminta maaf memang lebih sulit daripada membuat kesalahan. Warga negeri +62 menyaksikan itu pada laku tidak terpuji banyak pejabat dari pusat hingga daerah. Dari Sabang sampai Marauke berjajar raja-raja kecil.

Baca Juga : Petrus Selestinus Dorong Jurnalis Manggarai Timur Bersatu Bangkit Lakukan Somasi Balik

Soal Perbuatan Tidak Menyenangkan

Sekarang soal perbuatan tidak menyenangkan, frasa yang digunakan jurnalis Markus Makur dan An Babur dalam surat terbuka permohonan maaf mereka.

Frasa “perbuatan tidak menyenangkan” diatur dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).  

Rumusan delik ini sempat menjadi polemik karena sering digunakan sebagai alasan untuk menyeret orang ke meja hijau.

Menafsirkan perbuatan tidak menyenangkan itu sangatlah subjektif. Batasannya tidak ketat sehingga bisa ditarik-tarik seperti karet menjangkau banyak perbuatan. Makanya pasal ini dinamakan “pasal karet”. Ini berpotensi melahirkan ketidakadilan bagi terlapor.

Kerasnya kritikan atas rumusan delik ini mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus frasa “perbuatan tidak menyenangkan” pada Pasal 33 KUHP. Itu terjadi pada tahun 2014.

Dalam Pembacaan Putusan Pengujian UU KUHP di Ruang Sidang Pleno Gedung MK saat itu, dinyatakan bahwa “pasal perbuatan tidak menyenangkan” adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP pun dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca Juga : Di Banyak Daerah Lain Pejabat Minta Maaf Kalau Salah, di Matim Malah Balik Mensomasi Jurnalis

Editor: Redaksi KrebaDi’a.com