Derita Kornelia, Potret Manggarai Timur yang Tidak Sedang Baik-Baik Saja

Kornelia Siti Norma (67) tak punya lahan untuk berkebun, bertahun-tahun menjadi buruh tani, membesarkan anak satu-satunya tanpa suami, hingga tinggal tidak menetap dan kini mulai sakit-sakitan

Kornelia Siti Norma di dalam gubuknya di Golo Bane, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Jumat 14 Juli 2023. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)
Kornelia Siti Norma di dalam gubuknya di Golo Bane, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Jumat 14 Juli 2023. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)

Krebadia.com —  Semenjak pagi wilayah Borong belum menunjukkan cuaca nyaman. Hawa ibu kota Kabupaten Manggarai Timur itu dikenal cukup panas. Tetapi, hari itu, Jumat 14 Juli 2023, kota di bibir selatan Flores tersebut diselimuti mendung.

Tak lama berselang, hujan pun mengguyur. Dari gerah, udara Borong berganti dingin. Ditimpa sapuan bau asin angin Laut Sawu dengan gulungan ombaknya yang garang.

Senja itu, di pekarangan rumahnya, Kornelia Siti Norma menyeret langkah dengan wajah lesu. Ibu 67 tahun ini mendekati ayam-ayam peliharaannya. Di genggaman tangannya telah siap butir-butir jagung yang segera ia tebarkan ke kandang.

“Kerrrrrr ….” Konelia memberikan isyarat. Seakan paham akan panggilan khas Manggarai itu, puluhan ekor ayam datang mendekat. Peliharaan satu-satunya ini menikmati butir demi butir tanpa henti. Habis.

Sudah tiga bulan Kornelia menyibukkan diri memperhatikan ayam-ayam miliknya.

Siang hari ayam-ayam itu berkeliaran jauh dan  baru kembali setelah matahari terbenam.

Tak begitu sulit bagi Kornelia  memasukkan mereka ke dalam kandang. Dengan sekali “kerrr” sambil menebar segenggam jagung ke dalam kandang, semua terpancing masuk sebelum pintunya ditutup.

Bagi Korenelia, ayam merupakan sumber penghidupan utama.

Pika ket manuk so,” katanya dalam bahasa Manggarai. “Hanya dengan menjual ayam-ayam ini,” ia memenuhi kebutuhan makan dan berobat.

Tanah garapan tidak ia punya. Hamparan sawah 8-10 ha yang berjarak 50 meter dari rumahnya merupakan milik orang. Sedangkan tanah tempat rumahnya adalah milik keponakan.

Yang disebut rumah milik Kornelia sesungguhnya hanya gubuk kecil berukuran 4 x 6 meter persegi. Terletak di Golo Bane, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong.

Kornelia tinggal seorang diri. “Ho’o di delapan wulang ka’eng no ce’e,” kata Kornelia, “Baru delapan bulan tinggal di sini.”

Sebelumnya, Kornelia tinggal di Wae Reca, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, sekitar 2 km ke arah timur dari tempat tinggalnya saat ini.

Tanah yang ditempatinya kala itu bukan miliknya. Si pemilik tanah meminta dia segera pindah.

Gubuk Karolina tampak depan, berukuran 4 x 6 meter persegi . (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)
Gubuk Kornelia tampak depan, berukuran 4 x 6 meter persegi . (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)

Kornelia Didera Sakit Lutut

Di tempat tinggalnya yang baru di Golo Bane, pekerjaan fisik yang bisa dilakukan Kornelia saat ini hanya memelihara ayam.

Ia sudah tidak mampu lagi bekerja sebagai buruh tani di kebun orang, seperti dulu, yang dibayar Rp40 ribu per hari. Juga sudah tidak sanggup lagi, seperti dulu, menggarap kebun pinjaman orang sekadar ditanami jagung dan kacang-kacangan.

Semua pekerjaan yang pernah ia tekuni bertahun-tahun kini tidak bisa lagi ia jalani. Kemampuan fisik Kornelia sudah sangat merosot.

Sejak tiga bulan lalu lutut kiri Kornelia terasa nyeri. Ia susah berjalan. Kalau terpaksa, ia harus menyeret langkah perlahan-lahan dan hati-hati.

Sejak sakit  mendera lutut, memelihara ayam saja yang bisa dia lakukan.

Jauh sebelum nyeri mendera lututnya, nyeri terberat yang menimpa hati, pikiran, dan seluruh diri serta kehidupannya adalah nyeri kehilangan, ditinggal pergi sang suami, yang kecantol wanita lain, 1987.

Sejak saat itu, Kornelia menjadi single parent, orangtua tunggal dan sebatang kara memelihara dan membesarkan anak perempuan satu-satunya.

Tanpa suami, Kornelia  membanting tulang menjadi buruh tani sana sini demi si buah hati anak semata wayang.

Tahun terus berlalu. Si kecil bertumbuh menjadi seorang gadis. Tepat sepuluh tahun sepeninggal suami, Kornelia kembali merasa kehilangan.

Tahun 1997, putri satu-satunya memutuskan menikah dan mengikuti suaminya tinggal jauh meninggalkan Kornelia seorang diri.

Sebagai seorang  ibu yang menginginkan anaknya bahagia, Kornelia ikhlas melepaspergikan si buah hati bersama pria pilihannya sendiri.

Kornelia memang merasa kehilangan, tetapi hatinya tidak nyeri, karena ia telah mengikhlaskan semuanya dalam doa, dengan keyakinan si buah hati akan hidup layak dalam keluarga kecil mereka.

Baca juga:

Dapur dengan pintu masuk dari samping. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)
Dapur dengan pintu masuk dari samping. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)

Borong Kota Kontras

Hari semakin gelap. Waktu menujukkan pukul 18:00 Wita.  Kornelia tergesa-gesa mencari korek api untuk menyalakan lampu pelita. Suara-suara musik terdengar dari kejauhan, memecah keheningan malam.

Kornelia bercerita, memasuki bulan-bulan pertengahan tahun, suara musik akan terdengar dari berbagai arah. Mungkin orang-orang merayakan pesta syukuran anak mereka yang telah selesai studi sarjana  atau baru saja lulus masuk perguruan tinggi.

Toe manga listrik, pake lampu ho’o kanang,” kata Kornelia. “Tidak ada listrik, pakai lampu ini saja.”

Tidak teramat jauh dari gubuk Kornelia, di arah timur di bukit Golo Lada, pembangkit listrik milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus memantau dan memastikan lampu-lampu di wilayah Borong kota tetap menyala.

Adalah skandal besar bagi PLN kalau listrik mati sehingga mengganggu kegiatan di rumah dinas para pejabat, hotel, restoran, pertokoan, pastoran, kevikepan, dan kediaman para wakil rakyat kabupaten.

Di ketinggian bukit Golo Lada yang sama, di sisi barat jalan hotmiks yang membentang ke arah Lehong pusatnya pemerintahan, bertumpuk rumah  jabatan bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, ketua DPRD dan wakil ketua DPRD.

Berhadapan dengan kompleks perumahan elite kabupaten ini, di sebelah timur ruas jalan yang sama, berdiri megah bangunan bertingkat milik Kevikepan Borong.

Semua kumpulan bangunan elitis ini hanya terpaut jarak 3 km dari gubuk Kornelia. Jarak tempuhnya tidaklah jauh, tetapi jarak psikologis, ekonomis, dan sosiologisnya seakan terbentang antara langit dan bumi.

Itulah kontrasnya kota Borong.

Bagian belakang dapur dengan wadah penampung air hujan. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)
Bagian belakang dapur dengan wadah penampung air hujan. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)

Kemiskinan Ekstrem Manggarai Timur

Di sisi lain dari potret kontrasnya kota Borong, kisah Kornelia adalah juga secuil dari amat banyaknya potret kemiskinan ekstrem di Kabupaten Manggarai Timur.

Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin pada kunjungan kerjanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) 16 Oktober 2021, menetapkan sedikitnya lima  kabupaten di NTT sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan ekstrem.

Salah satunya adalah kabupaten tempat gubuknya Kornelia, Kabupaten Manggarai Timur.

Dikutip dari rakyatntt.com, Bupati Manggarai Timur Agas Andreas mengatakan kemiskinan ekstrem di Manggarai Timur merata di seluruh kecamatan dan desa.

Indikator dari kemiskinan ekstrem, kata Bupati Agas, adalah pendapatan masyarakat, rumah layak huni, air minum bersih, sanitasi berbasis lingkungan, akses listrik, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga.

Pada 2021 itu, Bupati Agas mengatakan akses listrik masuk desa di Kabupaten Manggarai Timur sudah mencapai 74 persen. Walaupun belum merata untuk semua rumah tangga di desa-desa, pada tahun 2022 jaringan listrik akan terpenuhi.

Di hadapan berbagai kisah sukses yang sering menjadi jualan bupati, derita Kornelia adalah kontras yang menegaskan hal yang lain. Bahwa, sesungguhnya, Manggarai Timur tidak sedang baik-baik saja.

Baca juga:

Perapian dengan seperangkat peralatan masak milik Kornelia. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)
Perapian dengan seperangkat peralatan masak milik Kornelia. (Foto: Andre Babur/Krebadia.com)

Kornelia Tidak Dapat Bantuan

Kornelia tidak seberuntung warga lain di kota Borong  yang sering mendapat bantuan dari pemerintah.

Hampir lima tahun terakhir, pemerintah pusat meluncurkan banyak program bantuan bagi masyarakat kurang mampu.

Kornelia sering luput dari bantuan-bantuan itu. Mulai dari bantuan tingkat desa hingga bantuan tingkat kecamatan, kabupaten, dan pusat. Semuanya lari lewat. Kornelia cuma jadi penonton.

Perna nepisa, le mai dinas sosial. Ba telur, gola, agu dea,” kata Kornelia: “Dulu pernah dari dinas sosial. Bawa telur, gula, dan beras.”

Bantuan yang diterima Kornelia sifatnya momental saja. Tidak seperti yang lain rutin setiap tahun. Kornelia luput dari bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan sembako, dan bantuan khusus lansia.

Kornelia mengatakan, sejauh ini ia tidak pernah didata sebagai penerima bantuan dalam jenis  apa pun oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Kornelia diam sesaat. Tak banyak lagi berkata-kata. Udara dingin selepas hujan semakin menusuk. Setumpuk harapan seolah terpancar samar dari sorot matanya yang kian redup menyerupai cahaya lampu pelita yang tergantung pada tiang tengah gubuk kecilnya.

Sembari menghela napas panjang, Kornelia membersihkan tenda kecil, 2 x 1,5 meter. Tenda inilah yang ia gunakan untuk istirahatnya malam nanti.

Tidak terasa, waktu menujukkan pukul 19:40 Wita.

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com