Masalah Dua(l)isme & Industri(al)isasi

Proses menambah jumlah kosa kata atau yang lebih dikenal dengan istilah pemerkayaan kosa kata untuk suatu bahasa dapat dilakukan dengan cara mengambil atau menyerap kata-kata bahasa asing.

Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang sedang dalam perkembangan tidak dapat menghindarkan diri dari cara seperti ini.

Meskipun kemungkinan seperti ini tidak dapat dihindari, tetapi tidak dapat diartikan sebagai kebebasan mutlak bagi setiap pemakai bahasa untuk menggunakan kata-kata asing tanpa batas. Kemungkinan seperti ini selalu disertai dengan aneka patokan, rambu-rambu yang harus dipatuhi.

Kemungkinan menyerap kata bahasa asing dalam perkembangannya mengalami perluasan karena bentuk yang diserap ke dalam bahasa Indonesia itu termasuk juga imbuhan.

Kita dapat menyebutkan contoh imbuhan dari bahasa asing yang sering kita jumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia seperti pra-, pasca-, antar-, eka-,dwi-, sub-, supra-, infra-, -isme, -isasi, -wan, -man, dll.

Penggunaan imbuhan asing ini harus mengikuti kaidah penulisan imbuhan asing. Buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah membantu kita untuk menemukan kaidah dasar bukan saja berkaitan dengan pembentukan istilah tetapi juga bagaimana istilah asing itu digunakan dalam konteks bahasa Indonesia.

Perihal penyerapan istilah asing, buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah (1993:7) mencantumkan tiga hal pokok yang harus menjadi bahan pertimbangan dalam penyerapan unsur asing ke dalam bahasa Indonesia, yaitu:

(a) istilah serapan itu dipilih untuk diserap karena ada kecocokan konotasinya;
(b) istilah itu dipilih karena lebih singkat dibandingkan terjemahannya;
(c) unsur yang diserap itu mempermudah tercapainya kesepakatan jika istilah bahasa Indonesia terlalu banyak sinonimnya.

Rubrik bahasa edisi ini ingin memfokuskan ulasannya berkaitan dengan imbuhan asing (unsur serapan) –isme dan –isasi.

Dua imbuhan ini sering kita temukan dalam praktik berbahasa. Contoh penggunaan imbuhan akhir –isme dan-isasi dapat dilihat pada kalimat (a) s.d. (g) berikut:

(a) Ancaman terorisme melumpuhkan seluruh sendi perekonomian negara.
(b) Pluralisme budaya tidak perlu dipersoalkan dalam bingkai negara kesatuan.
(c) Dualisme penghayatan iman menunjukkan ketidakmatangan karakter seseorang.
(d) Pengikut Plato berpegang teguh pada ajarannya disebut kelompok Platonisme.
(e) Vaksinisasi anjing rabies diperlukan untuk mencegah terjadinya wabah rabies.
(f) Gerakan menanam pohon lamtoro dikenal dengan sebutan lamtoronisasi.
(g) Percepatan industrialisasi pada kawasan pertanian mengancam para petani.

Kata dasar yang mendapat imbuhan asing -isme dan –isasi pada kalimat-kalimat di atas masing-masing: plural, dua, Plato, teror, vaksin, lamtoro, industri.

Secara sekilas penggunaan imbuhan –isme dan –isasi pada ketujuh kalimat itu tidak perlu dipersoalkan.

Kalimat-kalimat tersebut tergolong kalimat yang gramatikal atau kalimat yang benar baik karena strukturnya maupun karena makna yang diemban konstruksi sintaksisnya.

Kalau dicermati secara lebih teliti kalimat-kalimat yang gramatikal itu masih menyimpan masalah yang bertautan dengan masalah morfologi atau masalah kata dan pembentukan kata yang mengalami afiksisasi dengan imbuhan asing –isme dan –isasi.

Bentuk dasar yang berimbuhan –isme (kalimat a, b, c, d) dengan kata dasar teror menjadi terorisme, plural menjadi pluralisme, dua menjadi dua(l)isme , Plato menjadi Plato(n)isme.

Bentuk dasar yang berimbihan –isasi (kalimat e, f, g) dengan kata dasar vaksin menjadi vaksinisasi, lamtoro menjadi lamtoro(n)isasi, industri menjadi industri(al)isasi.

Di sini tampak jelas bagi kita bahwa pengimbuhan akhiran asing –isme dan –isasi pada kata dasar juga mengalami variasi.

Variasi pertama kita temukan pada bentuk terorisme, pluralisme, vaksinisasi. Pengibuhan pada bentuk dasar tidak mengalami perubahan dilekatkan secara murni (kami tawarkan istilah imbuhan murni).

Variasi kedua kita temukan pada bentuk dualisme, Platonisme, lamtoronisasi, dan industrialisasi. Dalam kata bentukan ini kita temukan adanya penambahan (semacam sisipan /l/, /n/, dan /al/).

Melihat tempatnya unsur ini dapat saja dikategorikan sebagai (sisipan baru) dalam bahasa Indonesia di samping sisipan yang telah lama dikenal yaitu -el-, -er-, dan –em-.

Dilihat dari peran atau fungsinya unsur ini dapat kategorikan sebagai unsur pelancar dalam membunyikan suatu kata.

Penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata terutama kata pinjaman untuk menyesuaikannya dengan pola fonologis bahasa Indonesia dikenal dengan istilah epentesis (epenthesis, excrescent) (bdk. Kridalaksana,1993:51).

Bentukan yang dibangun dengan variasi imbuhan dengan sisipan baru seperti ini (kami tawarkan untuk) disebut imbuhan campuran (imbuhan hibrida).

Di sini kita temukan bahwa konsep alomorf ternyata tidak hanya terjadi pada proses morfologis afiksisasi prefiks pada bentuk dasar tetapi juga terjadi pada kata dasar yang diimbuhi dengan akhiran –isme dan –isasi.

Kalau selama ini alomorf itu berkaitan dengan variasi bentuk kata dasar yang mengalami perubahan pada bunyi awal, maka dalam kasus yang dijelaskan ini kita temukan juga alomorf berkaitan dengan variasi kata pada bagian akhirnya setelah mendapat imbuhan asing.

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


sosok romo bone e1683867442101

Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng