Uskupan, Pastoran, Susteran

Uskupan, Pastoran, Susteran

Dalam salah satu kesempatan pertemuan pastoral saat rehat untuk minum, beberapa teman berbicara tentang banyak hal.

Di luar dugaan, dalam percakapan tidak formal itu ada yang menggunakan kata “keuskupan” dengan rujukan makna tempat tinggalnya seorang uskup.

Penggunaan bentuk “keuskupan” ini dipertentangkan dengan tulisan “pastoran” pada rumah tempat tinggal pastor.

Tulisan “pastoran” itu memunculkan pertanyaan dalam diri seorang teman. Pertanyaannya, “Mengapa bukan ‘uskupan’ seperti halnya pastoran dan susteran tetapi bentuk ‘keuskupan’?”

Untuk menjawab pertanyaan itu seorang menimpali, “Ya yang biasa dipakai ya keuskupan bukan uskupan; pastoran bukan kepastoran; susteran bukan kesusteran.”

“Bentuk ‘uskupan’  itu salah karena tidak biasa orang gunakan,” sambung seorang teman.

Topik dialog pengisi waktu jeda ini tampaknya menjadi forum akademik terkait bahasa khususnya proses pembentukan kata serta pemaknaannya. Kami menyadari bahwa topik yang dipersoalkan itu disengajakan untuk meminta penjelasan dan klarifikasi.

Menarik bagi kami menyaksikan bagaimana beberapa orang dalam kelompok ‘minum’ itu berdiskusi tentang bentuk  “uskupan” sebagai bentuk yang analog dengan pastoran dan susteran.

Saat itu, kami menjelaskannya secara lisan dan cukup memadai sekaligus untuk meredakan ketegangan antara dua kubu yang bersoal-jawab dengan argumentasinya masing-masing.

Persoalan seperti itu kami andaikan (mudah-mudahan tidak benar) juga dapat membingungkan banyak orang sehingga sengaja kami turunkan ulasannya  dalam rubrik “Fatamorgana Bahasa Indonesia” edisi ini.

Bentuk pastoran, susteran, dan uskupan secara morfologis terbentuk dari kata dasar pastor, suster, dan uskup yang mengalami afiksisasi dengan sufiks (akhiran) –an. Dalam tindak berbahasa lazim ditemukan juga bentuk keuskupan tetapi jarang dijumpai bentuk kepastoran dan kesusteran.

Orang lalu mempersoalkan mengapa terjadi perbedaan seperti ini? Memang tidaklah mudah memberikan penjelasan berkaitan dengan masalah seperti ini. Tidak ada cara lain, selain merunut  makna atau nosi yang diusung konfiks ke-/-an pada bentuk keuskupan dan makna atau nosi sufiks -an pada kata pastoran dan susteran.

Konfiks ke-/-an umumnya berfungsi membentuk kata berkategori  benda (nomina) abstrak jika dilekatkan pada kata berkategori sifat (adjektif) seperti kebersihan dari kata bersih, kesehatan dari kata sehat, kepintaran dari kata pintar.

Secara semantis,  proses morfologis konfiks ke-/-an bermakna antara lain:

(a) Menyatakan hal atau tentang, jika ke-/-an dilekatkan pada kata berkategori nomina misalnya bentuk keagamaan dari kata agama, kehutanan dari kata hutan.

(b) Menyatakan hal atau peristiwa, jika ke-/-an dilekatkan pada kata kerja atau kata sifat yang menyatakan keadaan misalnya kepergian dari kata pergi, kebiasaan dari kata biasa.

(c) Menyatakan agak atau sedikit bersifat jika ke-/-an dilekatkan pada kata sifat misalnya kemerahan untuk bentuk merah.

(d) Menyatakan mengalami atau kena jika ke-/-an misalnya kecelakaan dari kata celaka, kedinginan dari kata dingin.

(e) Menyatakan terlalu misalnya ketinggian dari kata tinggi, kebesaran dari kata besar.

(f) Menyatakan tempat jika konfiks ke-/-an itu dilekatkan pada kata dasar yang menyatakan jabatan misalnya jabatan duta, camat, lurah, akan menurunkan bentuk kedutaan, kecamatan, kelurahan.

Sementara itu akhiran –an pada umumnya berfungsi membentuk kata berkategori nomina yang dalam tataran sintaksis menempati posisi subjek atau objek. Kita ambil saja bentuk dasar bangun akan menurunkan bentuk bangunan, kata bungkus menurunkan bentuk bungkusan. Imbuhan berupa akhiran –an umumnya mengusung dan menyatakan makna;

(a) hasil perbuatan me(bentuk dasarnya) misalnya tulisan, lukisan (hasil perbuatan menulis dan melukis)

(b) alat untuk me(bentuk dasar) misalnya  timbangan, jebakan, pikulan, saringan

(c) hal atau benda yang dikenai perbuatan misalnya makanan, minuman, bacaan

(d) tempat misalnya kuburan, kubangan, pangkalan

(e) menyatakan tiap-tiap misalnya harian, bulanan, tahunan

(f) mengandung banyak misalnya durian, rambutan, ubanan

(g) himpunan jumlah misalnya jutaan, belasan, puluhan

(h) bersifat misalnya asinan, murahan, manisan.

Mencermati makna konfiks ke-/-an dan akhiran –an di atas kita mendapatkan gambaran perbedaan penggunaan dua bentuk imbuhan itu sangat tipis bahkan hampir sulit dibedakan.

Jika kita kembali pada masalah bentuk keuskupan, “uskupan”,  pastoran, susteran maka bentuk uskupan, pastoran, susteran  mengacu pada makna yang menyatakan tempat (tinggal) untuk uskup, tempat (tinggal) untuk pastor, tempat (tinggal) untuk suster seperti kuburan itu tempat untuk berkubur, kubangan tempat untuk berkubang, tikungan tempat yang menikung.

Di samping bentuk “uskupan” yang dipersoalkan di atas, kita jumpai pula bentuk keuskupan sebagai bentuk padanannya sedangkan bentuk pastoran, susteran tidak kita jumpai padanan ‘kepastoran, kesusteran’.

Salah satu makna konfiks ke-/-an di atas menyatakan tempat tetapi dikaitkan dengan jabatan yang tempat sebagai batas teritorial terpaut pada jabatannya.

Perbedaan makna karena dikaitkan dengan jabatan dengan wilayah kekuasaan inilah yang mengukuhkan penggunaan bentuk ‘keuskupan’. Jika hanya menyatakan makna tempat tinggal maka tulisan ‘uskupan’  pada papan itu tentu tepat dan diterima karena paralel dengan bentuk pastoran, dan susteran.

Keterkaitan atau lebih tepat ketidakterpisahan antara tempat tinggal dan jabatan dengan batas teritorial seperti ini, telah menempatkan kata keuskupan sebagai bentuk yang tepat untuk menggantikan kata ‘uskupan’. Hal ini tampak jelas kalau kita membandingkan kalimat (a) s.d. (d) berikut. Bentuk dan konstruksi yang berterima hanyalah kalimat (a) dan (b).

(a) Setiap keuskupan harus memiliki perangkat pastoral yang memadai.

(b) Lamaran masuk ke Seminari Tinggi diserahkan kepada pihak keuskupan.

(c) Setiap kepastoran harus memilki perangkat pastoral yang memadai (?)

(d) Lamaran siswa yang hendak ke seminari harus diketahui pihak kepastoran (?)

 

EDITOR: Redaksi Krebadia.com


bone rampung, pastoran

Bonefasius Rampung, S.Fil, M.Pd adalah imam Keuskupan Ruteng. Penulis buku Fatamorgana Bahasa Indonesia 1 dan Fatamorgana Bahasa Indonesia 2. Dosen dan ketua Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Unika Indonesia Santu Paulus Ruteng